Selasa, 10 Maret 2009

Bentuk Ijtihad Zaman Moderen

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Transformasi pemikiran dan ijtihad merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam kajian Hukum Islam ataupun Ilmu Ushul Fiqh, karena memang kajian ilmu ini merupakan suatu pengkajian tentang metode yang digunakan dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dengan demikian berarti merupakan kumpulan kaidah metodologis yang titik beratnya menjelaskan tentang tata cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara’ termasuk di dalamnya kajian tentang istimbath dan ijtihad. Kajian ini sangat kursial dalam pembahasan metode ijtihad, karena melalui kajian ini seseorang mujtahid akan mengetahui bagaimana tata cara mempergunakan dalil dan mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya serta ketentuan umum yang ditempuh dalam menetapkan hukum dan tujuan menetapkan hukum bagi subyek hukum (mukallaf).
Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam penetapan hukum banyak dijumpai tentang dalill-dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urutan-urutan dalil dan sebagainya. Demikian pula halnya ketika seorang Mujtahid membicarakan tentang penggalian hukum diungkapkan mengenai tujuan penetapan hukum. Khitab Allah yang mengandung ketentuan hukum merupakan aturan dasar yang bersifat garis besarnya saja.
Khitab Allah SWT. merupakan aturan yang mengatur segenap pebuatan orang dewasa (mukallaf) di muka bumi ini tentu ada aturan dasarnya. Jika tidak ditemukan secara jelas dan pasti aturan dasar itu tentu akan ditemukan apa yang tersirat dibalik khitab Allah itu, seandainya juga tidak ditemukan dari yang tersirat itu akan ditemukan dalam kandungan maksud Allah dengan menggunakan metodologi pengalian hukum atau yang dikenal dalam istilah terminologi hukum Islam dengan Metode Istimbath Hukum Islam. Selanjutnya khitab Allah SWT. itu yang umumnya bersifat aturan dasar, bersifat umum dan garis besar, agar ketentuan itu dapat dilaksankan secara jelas dan praktis, maka diperlukan kecerdasan akal yang populer dalam dalam istilah terminologi hukum Islam dengan Metode Ijtihad.
Dalam realitas kehidupan hukum umat Islam penggalian dan perumusan (penemuan hukum) yang telah dilakukan oleh imam mujtahid terkadang tanpak menimbulkan perbedaan (ikhtilaf) bahkan tidak jarang menimbulkan umat Islam saling perang urat saraf, di sisi lain kenyataanya kelihatan pula umat Islam anti terhadap perpecahan sehingga tidak heran ada pula sebagian umat Islam menutup rapat-rapat pintu ijtihad dan cukup berpegang dengan hasil ijtihad imam-imam terdahulu sehingga memunculkan dalam dunia Islam sifat terpaku, meingikut dan statis (taqlid). Akibatnya keadaan Hukum Umat Islam terasa kaku dan tidak mampu mejawab kebutuhan hukum umat itu sendiri seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Namun yang jelas kebutuhan umat Islam akan sebuah ketentuan hukum sangat diperlukan relevan dengan berkembang ilmu pengetahuan dan tekhnologi mengikuti perkembangan zaman. Pada tataran lain bahwa bukan hukum Islam itu yang kaku, tapi fiqh itu yang telah usang, oleh karena itu perlu adanya ijtihad dalam usaha penggalian hukum sejalan dengan perkembangan zaman.
Sebagaimana yang penulis singgung di atas ternyata ijtihad tidak dapat dipisahkan terlebih jika dilihat dalam konteks kekinian terutama jika dikaitkan dengan upaya aktualisasi ajaran Islam yang bertujuan untuk mengasilkan pemikiran baru. Makalah ini akan mencoba untuk menguraikan tentang kebutuhan ijtihad tersebut dan bentuknya.

2. Permasalahan
Dari uraian di atas, maka dalam penulisan makalah ini yang menjadi pokok masalahnya adalah : bagaimana kebutuhan ijtihad pada zaman moderen dan bentuknya ?

B. TINJAUAN UMUM TENTANG IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad.
Secara etimologis ijtihad berakar pada kata (ج - ه - د ) yang berarti “kesulitan atau kesusahan.” Dari sudut ilmu sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti timbangan (se-wazan) (افتعال ) yang menunjukan arti “berlebih” (mubalaghah) dalam melaksankan suatu perbuatan. Jadi segi bahasa arti ijtihad ialah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan atau upaya mengerahkan seluruh kemampuan intelektual dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Rumusan singkatnya berijitihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.
Secara terminologis ijtihad menurut ulama Ushul Fiqh ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperici. Abdul Wahab Khallaf mendefnisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara’ dan dalil yang terinci, dengan sumber dari dalil-dalil syara’. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan defenisi yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara’ yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya.
Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah Adapun Ijtihad dalam bidang putusan hakim (qadh’) adalah jalan yang diikuti hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dngan teks undang-undang maupun dengan mengistinbathkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.

2. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqahak boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu motode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat. . Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT. QS. An-Nisa ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari ayat tersebut dapat dipahami kobolehan melakukan ijihad dalam suatu persoalan yang mungkin dalam fonomena kehidupan masyarakat dengan mengacu kepada aturan Allah dan Rasul-Nya. Dan adanya keterangan hadits, yang mombolehkan berijtihad diantaranya, hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم ثم اخطاء فله اجر
Jika seorang hakim menghukum sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala.




3. Syarat-syarat Ijtihad.
Mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkannya merupakan hukum yang benar. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang hanya menentukan beberapa syarat saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah :
1. Mengetahui Al-Quran, As-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. Mengetahui maqasid syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
3. Mengetahui turuq al istitinbath Ushul Fiqh, metode menemukan hukum dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
4. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Melihat syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, masih obyektifkah kita untuk menerapkan syarat-syarat yang demikian itu, menurut Penulis harus merekonstruksi syarat yang demikian berat karena suatuasi dan kondisi yang berbeda dan berubah.

4. Tata Cara Berijtihad.
Pada prinsipnya ada tiga macam cara dalam melakukan berijtihad untuk menemukan hukum, yaitu :
1. Dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) seperti kemungkinan-kemungkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainnya.
2. Dengan menggunakan kaidah-kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan ilat hukum.
3. Dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syariah. Untuk ini sangat menentukan kaida-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqiyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.

5 Metode-metode Dalam Berijtihad.
Sebagaimana yang telah dikenal bahwa sumber hukum itu jika diurutkan adalah sebagai Al-Quran, As-Sunnah dan Ijtihad. Kemudian ijma’, qiyas, istihsan, masalahah mursalah, ‘uruf, istishab, dan lainnya digunakan dan ditempatkan sebagai metode sumber hukum Islam dalam lapangan ijtihad. Metode dan pengertian secara singkat diuraikan sebagai berikut :
1. Ijtihad.
Ijtihad beserta seluruh derivasinya menunjukan pekerjaan yang dilakukan upaya untuk mencari dan atau penemuan hukum, atau dengan kata lain pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu dalil syara’. Dalam istilah inilah ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak para fuqahak yang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan di bidang fiqh. ehubungan dengan hal tersebut, kenyataan menunjukan bahwa ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang yakni mencakup akidah, muamalah dan filsafat, namun lebih spesifik adalah dalam bidang fiqih, namun yang menjadi pesoalannya adalah mengenai kedudukan hasil ijtihad.
2. Istihsan.
Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia dan lain-lain. Menurut Abu Zahroh istihsan banyak dipergunakan oleh Abu Hanifah dalam fiqihnya. Walaupun Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan tetapi ia tidak pernah menjelakan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu.
3. Al-Mashlahah al-Mursalah.
Al Mashlahah adalah lafaz al-mamfaat artinya baik, dengan demikian al-Mashlahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalanya. Menurut Al-Syatibi mengakui bahwa kaidah istihsan menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syariat. Dengan demikian dalam konsep ini Imam Malik adalah mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya, inilah yang dimaksud dengan istislah atau al-Mashlahah al-Mursalah. Para ulama dari golongan Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istislah, kecuali Imam Malik.
4. Istishhab.
Istishhab ditinjau dari segi bahsa berrati persahabatan dan kelanggengan persahabatan. Menurut ulama Ushul Fiqh adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan keadaan atau menjaadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menuurt keadaanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya. Ulama Hanafiah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa., merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahanakan sesuatu yang berbeda sampa ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya. Ulama Mazhab Syafe’i dan Hanbali menggunannya secara mutlak, sedangkan ulama Mazhab Hanafi dan Maliki memakai terbatas pada hal yang bersifat penolakan bukan yang bersifat menetapan.
5. ‘Urf.
‘Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat ‘Urf ini sering disebut sebagai adat. ‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri, pada umumnya ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukkan hukum dan penfsiran beberapa nash.
6. Dzari’ah.
Dzari’ah dari segi bahasa jalan sesuatu. Pengertian Sadd Adz-Dzari’ah menurut Imam Asy-Syatibi adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Di kalangan ulama Ushul Fiqh terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan Dzariah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerimanya sebagai salah satu dalil syara’, dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain, sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan unzur.
7. Mazhab Shahaby.
Sahabat adalah orang-orang yang betemu Rasullah SAW yang langsung menerima risalahnya dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari Rasul sendiri. Oleh karena itu Jumhur Ulama telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesuadah dalil-dali nash. Dari uraian itu tidak diragukan bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal, Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat seorang sahabat itu sebagi hujjah, begitu juga halnya Imam Syafi’i bahkan beliau memperkenankan untuk menentang secara keseluruhan dan melakukan ijtihad.
8. Syariat Min Qoblina.
Al-Quran atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasullah kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti, seperti firman Allah STW dalam QS al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama. Namun diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Jumhur ulama Hanafiah sebagian ulama Malikiyah dan Safiyah berpendapat bahwa hukum tersebut itu disyariatkan juga kepada kita dan kita wajib mengikuti dan menerapkannya selam hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya.

C. IJTIHAD MASA MODOREN.
Jika dilihat pengertian ijtihad yang diberikan oleh para ulama Ushul Fiqh (baca : bukan kontemporer), ternyata mereka membatasi ruang lingkup ijtihad kepada persoalan hukum saja. Seseorang yang melakukan pengakajian di luar bidang hukum Islam tidak disebut sebagai mujtahid. Pengertian tersebut terlalu jauh melangkah dari pengertian atau makna ijtihad sesungghnya. Sebab pengkajian yang dilakukan oleh para mujtahid dalam disiplin ilmu hukum tidak berbeda dengan pengakajian yang dilakukanb oleh mujtahid dalam disiplin ilmu lain. Mereka juga membutuhkan pengerahan daya upaya untuk mendapatkan hasil kajian yang mapan dan benar, sebagaimana yang dibutuhkan oleh ulama-ulama yang bergerak dalam disiplin ilmu hukum Islam.
Oleh karena itu sebaiknya pengertian ijtihad dikembalikan kepada pengertian etimologisnya, yakni segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf, yang semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad. Dengan demikian, orang yang terjun ke dalam pengakajian tersebut, dikategorikan sebagai mujtahid. Kalaulah pengertian ijtihad disepadankan dengan pengertian transpormasi pemikiran bahwa ijtihad dikemukakan terdahulu, dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan bagian dari transformasi pemikiran. Seorang mujtahid tidak mutlak menjadi seorang tokoh transpormasi, tetapi seorang tokoh transpormasi tergolong mujtahid. Oleh karena itu, ijtihad mempuyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya transpormasi pemikiran.
Mempertegas perbedaan antara ijtihad dengan transpormasi pemikiran. DR. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa ijtihad lebih ditekakan dalam bidang pemikiran yang bersifat ilmiah, sedangkan transpormasi pemikiran meliputi bidang pemikiran, sikap mental, dan perilaku atau tindakan manusia yang meliputi bidang iman, ilmu, dan amal. Dewasa ini dunia Islam sudah sangat memerlukukan adanya mujtahid dan mujaddid yang profesional. Sebab, kehidupan masyarakat telah diwarnai dengan inovasi di segala bidang, sedangkan nash-nash Al Quran dan Al Hadis tidak menerangan segala persoalan secara tekstual. Dalam keadaan seperti itu, sangat dibutuhkan pemikiran yang bersih dan penuh kesungguhan untuk mengembalikan tatanan kehidupan yang sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Persoalan yang tidak memiliki dasar hukum, misalnya masalah bayi tabung, sewa rahim, bank sprema, dan bursa efek. Sedangkan dalam persoalan yang sudah meiliki dasar hukum, tetapi di dalamnya masih timbul problema baru yang rumit seperti kepemimpinan wanita, hakim wanita, riba dan bunga bank, potong tangan bagi pencuri, vasektomi dan tubektomi, tetap diperlukan hasil pemikiran. Secara makro ijtihad merupakan sub transpormasi pemikiran, yang mempunyai arah dan tujuan untuk mengantisipasi segala persoalan sosial-kemasyarakatan yang muncul dalam dunia Islam sehingga eksistensi universalitas, kedinamisan, dan keluwesan hukum Islam tetap dapat dipertahanakan.
Dalam supremasi IPTEK dewasa ini, keahlian dalam ilmu tetentu sangat dibutuhkan dalam perkembangan kebutuhan manusia dewasa ini. Seorang ulama atau ilmuwan, tidak mungkin lagi menguasai pelbagai disiplin ilmu yang ada. Namun yang terpenting adalah seorang mujtahid harus mengetahui masalah yang dihadapinya dan didukung oleh pengetahuan yang dia miliki tentang masalah yang dihadapinya itu. Misalnya, seorang yang berijtihad dalam masalah ekonomi harus ahli dibidang ekonomi. Demikian pula dalam bidang kedoketeran, bidang politik dan lain-lain. Syarat kehlian tertentu justru berkaitan dengan kualitas pribadi seorang mujtahid.
Kompeleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad. Pada dasarnya masalah-masalah yang dihadapi itu telah ada dalam Al Quran dan Al Hadis. Tetapi, ada yang dijelaskan secara tegas dan ada yang dijelaskan secara global, karenanya masih memerlukan penalaran secara lebih mendalam. Permasalahan yang dihadapi umat Islam diberbagai tempat bersifat kasustik, artinya tidak semua persoalan yang dihadapi oleh umat Islam suatu tempat sama dengan permasalahan umat Islam di tempat lain.

D. BENTUK IJTIHAD MASA MODOREN.
Dengan demikian, pentingnya pemakaian ijtihad yang cocok dengan situasi dan kondisi setempat, seperti bentuk-bentuk ijtihad di bawah ini :
1. Ijtihad Intiqa’i.
Di dalam Al Quran dan Al Hadis telah disebutkan patokan-patokan dasar ajaran Islam. Patokan itu memberikan petunjuk bahwa Al Quran dan Al Hadis ada yang bersifat absolut, ada yang bersifat relatif Keberadaan nash yang mayoritas bersifat relatif merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama dalam memahami maknanya, sehingga hampir semua masalah keagamaan tidak terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat.
Para ulama terdahulu telah memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya, bukan berarti bahwa apa yang mereka tetapkan atau hasilkan delam bentuk ijtihad itu, adalah suatu ketetapan yang final untuk sepanjang masa. Tetapi perlu ditilik kembali apakah sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Sedangkan para mujtahid sekarang dituntut untuk mengadakan studi perbandingan di antara pendapat-pendapat itu dan diteliti dalil-dalil yang dijadikan landasan.
Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para pendahulu kita, malainkan di transpormasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Kita tidak bisa berkomitmen dalam suatu mazhab atau pendapat, melainkan kita harus meneliti secara keseluruhan, agar bisa mendapatkan ketetapan yang kuat menurut pandangan kita sekarang dan lebih sesuai dengan realitas masalah umat Islam.
2. Ijtihad Insya’i.
Ijtihad ini sangat diperlukan karena berbagai permasalahn yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sekarang yang pernah terbetik dalam hati para mujtahid terdahulu seperti organ tubuh, donor mata, inseminasi buatan, dan sebagainya. Masalah-masalah ini raib dari pembahasan fiqh klasik dan semuanya memerlukan pemecahan secara ijtihad.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta globalisasi dunia telah banyak membawa pengaruh perubahan pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi ciri utama masyarakat moderen membuat praktik-praktik ilmu fiqh kurang mampu lagi menjawab permasalah baru tersebut, bahkan kadangkala fiqh kaku berhadapan dengan zaman kekinian.

3. Ijtihad Komparatif.
Ijtihad komparatif ialah mengabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqai dan isnya’i). Dengan demikian di samping untuk menguatkan atau mengkopromikan beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.
Pada dasarnya hasil ijtihad yang dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya agung tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan ijtihad baru. Karena itu, diperlukan kemampuan memngutak-atik hasil sebuah ijtihad, dengan jalam menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas.

E. KESIMPULAN.
Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengertian ijtihad perlu dikembalikan kepada pengertian etimologisnya, yakni segala daya upaya yang mengarah kepada pengakajian, baik dalam ilmu hukum maupun ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu kalam atau ilmu tasawuf, yang semuanya itu dikategorikan sebagai ijtihad.
2. Kompeleksitas masalah yang dihadapi umat Islam dewasa ini menuntut para mujtahid untuk berusaha mengantisipasi bentuk ijtihad.
3. Ijtihad yang cocok dengan situasi dan kondisi setempat, seperti bentuk-bentuk ijtihad : ijtihad Intiqa’i, ijtihad insya’i,i ijtihad komparatif.


DAFTAR PUSTAKA
Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz 1, Dar al-Fikr li al Thaba’ah wa al Nasyr, Bairut, 1979.

Abdu al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, al-Majlis al-A’la al-Indonesi li al-Da’wah al-Islamiyah, Jakarta, 1972.

Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, Juz IV Dar al-Fikri.
.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa Tarjamah Ma’nihi ila Al Lughah al Indonesiyyah), Makkah : Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H.

Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukaramah al-Anshari, Lisan al-‘Arab, Dar al-Mishr (tt), juz XX,

Iskandar Usaman, Istihsan dan Pembahauan hokum Islam, cet. Pertama, 1994, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Idris al-Marbawi, Qamus al-Marbawi, Dar al-Fikr, Mesir, (tt), juz I.

Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih II, cet. II, 2001, CV. Pustaka Setia, Bandung.

Muhammad Abu Zahroh, Ushul al Fiqh, alih bahasa Sefullah Ma’shum, ddk, cetakan keenam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.

Muhammad Musa Tuwana, al-Ijtihad wa Madza Hajatina ilaihi fit Hadzin al-‘Ashr, Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, 1972.

Muhammad Madani dan Mu’inuddddin

7Qadir, Dasar Pemikiran Hukum Islam (Taqlid Ijtihad), terj. Hussein Muhammad dari tiga tulisan yang berbeda dalam bahasa Arab, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

Rachmat Syafe’i, Ushul Fiqih, cet I, 1999, CV. Pustaka Setia, Bandung.

Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fiy al-Syari’ah al-Islamiyah ma’a Na-Zharah Tahliliyah fiy al-Ijtihad al-Mu’ashir, terj. Ahmad Syathori, Ijtihad dalam Syariat Islam, Bualn Bintang, Jakarta, 1987.

1 komentar:

  1. Casino.com Bonus Codes | Play for Free or Real Money | TrickToAction
    This list of 파워볼 숫자합 벳무브 Casino.com casino bonus codes and promotions 봄비 벳 for 2021, 파워볼 전용 사이트 and other Casino.com Casino.com casino 안전한놀이터 윈윈 bonuses. 스포츠 토토 핸디캡 벳피스트

    BalasHapus