Selasa, 10 Maret 2009

Aspek Pemikiran Moderen

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah

Di sebagaian umat Islam tradisional hingga saat ini tampaknya ada perasaan masih belum mau menerima apa yang dimaskud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan Islam. Mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang lama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajarasn Islam yang lama itu berdasarkan pada hasil ijtihad para ulama besar yang dalam ilmunya, taat beribadah dan unggul kepribadiannya, Sedangkan ulama yang ada sekarang dipandang kurang mendalam ilmu agamanya, kurang taat beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh karena itulah merteka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sedah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.

Pembaharuan Islam sebenarnya bukan sebagaimana yang dipersepsikan oleh sementara kaum tradisional di atas. Pemabaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajauan ilmu pengetahuan dan tekhnologi moderen. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al Quran maupun teks Hadis, melainkan hanya menyesuaikan pemahaman atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilakukan karena betapaun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekuarangnyanya dan selalu dipengarhui oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya, Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.

Mengkaji berbagai upaya pembaharuan berikut pemikiran, tokoh-tokoh, organisasi, strategi dan keberhasilannya selain berguna untuk kepentingan akademisi juga berguna sebagi bahan perbandingan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia. Dalam kaitan ini kita merasa perlu menkaji pengertian pembaharuan Islam tersebut, pemikiran-pemikiran dan tokoh-tokoh pembaharuan serta strategi yang diterapkan pada setiap ide pembaharuannya yang dimaksud.

Dari deskripsi tersebut terlihat kemajuan Islam. Kini umat Islam tengah memikirkan bagaiamna cara memajukan dirinya. Pembaharuan terjadi di hampir negara termasuk di Indonesia. Pembaharuan tersebut masih tersus berkembang dan berlangsung untuk menncapai tujuannya yang diinginkan. Sementara itu berbagai penelitian ahli terhadap fenomena pembaharuan Islam terus berlanjut baik melalui publikasi baik dalam bentuk buku, artikel maupun dakwah dengan lisan dan sebagainya.Keadaan demikian, mencullah suatu bidang studi pembahauan dalam Islam.

Telah banyak penelitian yang dilakukan para ahli yang mengambil tema di sekitar pemikiran modern dalam Islam Makalah singkat ini akan mencoba mengupas macam-macam karakteristik pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik dilihat dari aspek ketokohan maupun dari aspek organisasi. Dan untuk itu penulis akan emncukup dengan dari aspek tokoh hanya akan menampilkan sosok KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dan aspek organisasi yaitu Muhammadiyah, Nadlatul Ulama dan Persatuan Islam. Karena terbatasnya ruang dan tempat penyajian yang cukup mewakili pembaharuan dalam Islam yang merupakan awal tongkak pembaharuan di Indonesia.

2. Permasalahan

Dari uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah macam-macam karakteristik pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia baik dilihat dari aspek ketokohan maupun dari aspek organisasi.
B. PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
1. Pembaruan Pemikiran dalam Islam

Pembaruan atau pemurnian dalam bahasa Arab “جددوا “ yang secara etimologi berakar pada kata (جديد ), yang menunjukan kepada tiga arti pokok : (1) keagungan, (2) bahagian, (3) pegangan. Kata ini kemudian berubah menjadi ( جدد ) yang berarti “memperbaharui” sebagai lawan dari usang. Kata “baru” dalam konteks bahasan ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, yakni : (1) barang yang diperbaharui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami orang lain; (2) barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman; (3) barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru.

Dalam bahasa Indonesia telah selalu dipakai kata pembaharuan, modern, modernisasi dan modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam ”aliran-aliran modern dalam Islam” dan “Islam dan modernisasi”. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-sistiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern. Sebagaimana halnya di dunia Barat, dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern itu.

Al-Qumi mendefinisikan tajdid sebagai menghidupkan kembali amalan al Quran dan al Sunnah yang pernah aktual dan menetapkan hukum suatu perbuatan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sementara itu, Al-Qari menyatakan bahwa tajdid adalah membedakan antara sunnah dan bid’ah; memperjelas kandungan sunnah dan memuliakan ahlinya, serta menghancurkan bid’ah dan memerangi ahlinya.

Prof. Dr. H. Harun Nasution mendefenisikan Pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Dengan demikian menurutnya bahwa pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Alquran maupun teks Al-Hadis, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman.

Hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang munkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan. Tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi. Selain itu pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang teradapat di dalam Alquran dan Al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Alquran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.

Dengan demikian, tajdid (pembaruan) adalah sesuatu yang pernah aktual pada awalnya, tetapi karena perkembangan waktu, sesuatu tidak menjadi baru lagi dan untuk mengaktualisasikan kembali harus mengacu pada konteksnya semula.

2. Urgensi Pembaharuan Pemikiran dalam Islam

Alquran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta tekhnologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai sebagai suatu keluarga besar: bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya menunjukan keadaan yang berbeda. Sebagian besar umat Islam hanya menguasai pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasainya bahkan dimusuhinya; hidup dalam keadaan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka dan lain sebagainya.

Sikap dan pandangan hidup seperti ini jelas tidak sejalan dengan ajaran Alquran dan Al-Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Alquran dan Al-Sunnah.

Untuk mendukung contoh-contoh tersebut di atas, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud sepert diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaharu di Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide pemabaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang teradapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan.

Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalism) diganti dengan paham qadariah (free will dan free act), perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Alquran tidak bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.

Beberapa ajaran Islam (bidang muamalah) pada masa awal perkembangannya juga berada dalam kondisi aktual. Tetapi, dengan terjadinya pergeseran situasi dan kondisi, maka ajaran-ajaran itu telah banyak berubah. Oleh karena itu, untuk mengaktualisasikan ia harus dikembalikan kepada kondisi awalnya dengan mengadakan interprestasi baru. Contoh lain, “memperbarui janji”. Pada waktu pertama kali janji itu diikrarkan ia berada dalam kondisi baru, tetapi karena mengalami waktu yang panjang, maka janji itu menjadi usang, dan untuk memperbaruinya lagi ia diikrarkan kembali.

3 Gerakkan Pemikiran Modern Islam di Indonesia.

Agama Islam masuk ke Indonesia pertama kalinya di sekitar abad XIII Masehi dan perkembangan Islam tidak dicampuri oleh sesuatu usaha pemerintah manapun juga, dimana daerah dan pulau-pulau kecil yang lain satu persatu masuk Islam, terutama dengan usaha saudagar-saudagar Islam. Ketika Islam masuk ke Indonesia, ia bukannya menjumpai masyarakat yang masih bersih dari berbagai acam ragam keyakinan hidup. Masyarakat Indonesia pra Islam adalah masyarakat yang telah memiliki kepercayaan, seperi animisme, dinamisme, Hindu maupun Budha yang diyakini dan telah menyatu dalam seluruh aspek kehidupannya sedemikian rupa. Dan ketika mereka dengan kesadarannya sendiri mau menerima seruan dan ajakan Islam, ternyata sisa-sisa kepercayaan sebelumnya tidak serta-merta ditanggalkan dari kebiasaan hidupnya. Gejala bercampur-aduknya antara kepercayaan lama dengan keyakinannya yang baru tidak mungkin dapat dihindari.

Di lain pihak, Islam yang datang ke Indonesia bukannya dibawa oleh para mubaligh yang langsung datang dari jazirah Arab, melainkan dibawa oleh para pedagang dan mubligh dari Gujarat-India. Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia ini adalah hasil pekerjaan kaum Sufi dan Mistik, sedangkan dalam masalah fiqih yang menguasai lapangan pendidikan dan pengajaran tradisional Islam di Indonesia –disamping tasawwuf- muslim Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i.

Dari uarain singkat di atas jelaslah bahwa kondisi keberagaman masyarakat Indonesia sejak semula memang tidak menggambarkan Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu suatu agama yang sangat sederhana sekali, bernalar, dan mudah dilaksanakan. Namun kedamaian umat Islam di Indonesia dalam melaksanakan kehidupan keagamaan dan dakwahnya yang berlangsung selama lebih kurang tiga abad, di sekitar awal abad XVI tiba-tiba dikejutkan dengan datangnya bangsa-bangsa Eropa untuk mennjajah secara silih berganti antara bangsa Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda, datang ke Indonesia yang dengan 3 motif utama, yaitu motif ekonomi (gold), motof politik (glory) dan motif penyebaran agama Kristen (gospel).

Kondisi umat Islam di Indonesia seperti di atas berjalan-beratus tahun lamanya. Baru pada sekitar tahun 1803 bersamaan dengan kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari menunaikan ibadah haji dan untuk sementara waktu bermukim, mereka pulang kembali ke kampung halamannya di Minangkabau dengan membawa semangat Islam yang diilhami Gerakan Wahabi yang puritan. Sementara di daerah Luhak Agam para tuanku mengadakan kebulatan tekad untuk memperjuangan tegaknya syara’ sekaligus memberantas segala macam kemaksiatan yang sudah mulai semarak dikerjakan oleh kaum adat. Mereka teridri dari Tuaku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuaku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuaku Kubu Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Kedelapan-orang inilah yang terkenal dengan julukan ‘Harimau nan Selapan’, di samping itu mucul juga tokoh lain dari gerakan Paderi yang namanya cukup legendaris, yaitu Muhammad Syabab, yang kemdian terkenal dengan nama Tuaku Imam Bonjol, yang memerangi kaum adat yang penuh dengan kemusyrikan, namun dalam perjalanannya kaum adat meminta bantuan ke Belanada pada akhirnya perlawanan bukan melawan kaum adat melainkan melawan kaum kafir Belanda.

Syaik Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang lahir di Bukitttimnggi tahun 1855 ketika berusia 21 tahun pergi ke Makkah untuk belajar memperdalam pengetahuan agama Islam yang berfahamkan mazhab Syafii. Pada puncak kariernya ia menjadi imam dari mazhab Syafii di Masjidil Haram. Ia adalah sosok ulama yang cerdas, kritis dan toleran. Di samping itu ia mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan agama Islam menurut faham mazhab Syafi’i dan mempelajari kitab-kitab dari para pembaharu Islam seperti kitab tafisir Al Manar karangan Muhamamd Abduh atau majalah Al Urwatul Wutsqa. Murid-muridnya yang datang dari Indonesia banyak yang berlajar dengan beliau, diantaranya Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Abdul Karim Amarullah (Hamka), Abdullah Ahmad, Ahmad Dahlan dan sebagainya, mereka tertarik dengan ide-ide pembaharuan yang diajarkan oleh Ahmad Khatib. Namun sebagian muridnya yang lain tetap berpegang pada mazhab Syafii antara lain, seperti Syaik Sulaiaman Ar Rasuli Candung Bukiittingi, Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur dan sebagainya.

Dari para muridnya inilah yang membawa gerakan pembahruan Islam pertama kali di Indonesia, tokoh-tokoh tersebut mayoritas muncul di Minangkabau, tokoh-tokoh tersebut mencoba memajukan anak-anak bangsa pada agama yang lurus dan ber’itikad yang betul. Tokoh ini pengetahuannya tentang Islam diakui oleh ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konferensi Khilafat di Kairo tahun 1926.

Memasuki abad XX di Indonesia, terutama di puau Jawa perjuangan menegakkan agama Islam sehingga kemuliaan Islam sebagai idealita dan kejayaan umat Islam sebagai realita dapat direalisasikan secara konkrit telah dimulai dengan menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Umat Islam mulai saat ini menyadari bahwa cita-cita yang demikian besar lagi berat seperti di atas hanya dapat diperjuangan lebih efektif dan efisien manakala menggunakan alat perjuangan yang namanya “organisasi”. Maka bermuculanlah berbagai Gerakan Pembaharuan dalam Islam, baik yang bergerak dalam bidang politik kenegaraan seperti Syarikat Islam, Partai Islam Indonesia, Partai Islam Masyumi, Partai Muslimin Indonesia, maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan seperti As-Islah wal-Irsyad atau terkenal dengan Al-Irsyad, Persatuan Islam, dan Muhammadiyah.

Sesungguhnya dua pola perjuangan pemikiran pembaharuan seperti di atas telah ada ‘blue print’ atau cetak birunya sebagaimana yang dirintis oleh gerakan salafiyah yang ditokohi oleh Jamaluddin al-Afghany yang teori perjuanganya lebih dititik beratkan untuk merebut dan mengasai berbagai lembaga kenegaraan, terutama legislatif, dengan keyakinan bahwa dengan dikuasainya berbagai lembaga kenegaraan tersebut maka Islam akan dapat menentukan berbagai perundang-undangan, aturan, keputusan dan kebijakan negara yang benar-benar Islamy. Sedangkan pengaruh Muhamamd Abduh yang berpendapat disamping memakai teori Jamaluddin al-Afghany, ditambah lewat pendidikan yang benar-benar Islami akan lebih melahirkan kader-kader yang siap menyebarkan ide-ide pembaharuan ke seluruh penjuru dunia, dan sekaligus menjadi pendukung yang setia untuk tampil ke depan mengisi tugas-tugas kenegaraan dan kemasyarakatan.

Dua bidang garap berupa politik dan bidang sosial kemasyarakatn seperti di atas pula yang menjadi platform gerakan warna pembaharuan Islam di Indonesia. Yang kemudian memunculkan pemikir-pemikir pembaharu Islam di Indonesia. Jika kita gambarkan menjadi bahasan tersendiri, berikut polanya tersebut, yaitu :
• Gerakan Politik Islam :
- Partai Serikat Islam Indonesia.
- Partai Islam Masjumi.
• Gerakan Sosial Kemasyarakatan Islam :
- Al-Jamiat al-Khair :
- Gerakan Al-Islah wal Irsyad.
- Persatuan Islam (Persis).
- Persarikatan Muhammadiyah.
• Gerakan Pemikiran Modern Islam :
- Model Prof. Dr. H. Nurkolis Madjid.
- Model Prof. Dr. H. Harun Nasution.
- Model Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA.
- Model Prof. Dr. H. Deliar Noer.
- Model Prof. Dr.H.Jalaluddin Rahmat, MA.

4 Karakteristik Pemikiran Modern di Indonesia

Era 1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai bangkit gejala baru (baca: pembaharuan) yang disbut “neo modernisme”. Sosok Nurcholis Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.

Pada hari ini, lebih kurang 30 tahun, gerakan pemikiran modern ini kian berkibar dan menadapt tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air. Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam) dalam bentuknya yang substansi. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma holistik yang oetentik dengan tetap berpijaknya pada akar tradisi. Ia tidak mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat Indonesia Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal dan digayung-sambuti dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar Abdilla dan kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan kontraversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan membiak ke berbagai arah.

Gugusan pemikiran yang bergayung modersnisme dan liberalisme kemudian semata konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Pada akademisi, mahasiswa dan aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azrra, dalam pengantar buku ini menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal di Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis pembaruan, seperti Muhammdiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam kasus-kasus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah stu contohnya adalah Abd ‘Ala. Secara praktis, paham Islam liberal sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta radikalisasi sikap keagamaan.

Sebaliknya, ia cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis. Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yan viable, murni (genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.

Berlatar belakang panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan paradigma pemikiran yang disusung oleh intelektual muslin terkemuka Fazlur Rahman. Tokoh reformasi asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan pengaruh yang sangat kuat bai berseminya wacana Islam liberal di Indonesia. Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur Rahman dengan Cak Nur, pelopor dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Kebutalan Cak Nur beserta beberapa tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’rif) sempat berhubungan dan beguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran Fazlur Rahman disebut-sebut sebagi “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran Islam modern di neegri ini, pada konteks itulah pengaruhnya terhadap pemahaman Islam di Indonesia.

Penyingkap akan hal tersebut, terasa penting disebabkan perlunya korelasi yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam hal ini terdapat setidaknya dua signifikasi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan hal tersebut. Pertama, secara teoritis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas Fazlur Rahman, kelak berhasil menjadi arus utama (mainsteram) bagi gerakan pembaharuan Islam berikut pembiakannya di Indoneisa, pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur Rahman sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasan (antara lain yang sangat menonjol adalah ide penafsiran al Quran dan Hadis secara rekonstruktif dan hidup) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur Rahman pada akhirnya menawarkan altenatif baru serta perspektif lain bagi kesadaran teoligi (sebagian) umat Islam di Indonsia.

Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan teologi Quran) yang dosodorkan, serta merta telah menbuka cakrawala pandang baru yang fungsional, liberal dan applicable dalam merespon problema sosial kemanusian mutakhir. Paradigma keislaman di Indonesia telah menampakan hasil yang gemilang. Bukan saja dari tawaran pembaharuan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif dan juga otentik.

Oleh karenanya, ke depan, diskursus pemkiran pembaharuan Islam di Indonesia tetap layak untuk digulirkan dan dikaji secara lebih menarik, di tengah kondisi kehidupan dalam global vilage ini, Islam bisa hadir sebagai perekat solidoritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta keberagamaan yang adil. Pada titik inilah pemabaharuan pemikiran sebagai wahana kreasi ulang (re-ceration) bagi kiprah dan perjalanan pembaharuan Islam di tanah air. Kini dan di masa mendatang, diharapkan akan menjadi cermin cemerlang bagi lahirnya iklin keberagaman yang damai dan lapang.


C. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN DARI ASPEK TOKOH DAN INSTITUSI
1. Aspek Ketokohan.
a. KH. Ahmad Dahlan :
1. Latar Belakang Biografinya.

Ia lahir di Kampung Kauman Yogyakarta tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah KH Abubakar seorang khatib Masjid besar Kesultanan Yogyakarta yang apabila dilacak silsilahya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim, Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Ia diasuh dan dididik mengaji Al Quran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah, belajar Fiqh kepada KH. Muhammad Shaleh, Nahwu kepada KH. Muhsin dan kepada KH. Muhammad Nur serta KH. Abdul Hamid dalam berbagai disiplin ilmu.

Pada tahun 1889 M ia dikawinkan dengan Siti Walidah, putri KH. Muhammad Fadhil, kepala penghulu Kesultanan Yogyakarta. Beberapa bulan setelah perkawinanaya, ia menunaikan ibadah Haji pada tahun 1890 M (1308 H), setelah melaksanakan Umrah ia bersilaturrahim dengan para ulama Indonesia maupun Arab. Ia mendatangi ulama mazhab Syafi’i Bakri Syata’ dan mendapat ijazah bernama Haji Ahmad Dahlan. Setelah musim haji selesai ia pulang dan tiba di Yogyakarta pada minggu pertama bulan Shafar 1309 (1891 M).

Ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Akhirnya juga dipercaya mengajar para santri dewasa maupun tua, lalu mendapat sebutan KH. Ahmad Dahlan. Pada tahun 1896 KH. Abubakar wafat, jabatan Khatib masjid besar oleh Kesultanan Yogyakarta lalu dilimpahkan kepada KH. Ahamad Dahlan dengan gelar Khatib Amin. Lama kelamaan dirasa bahwa persedian ilmunya masih kurang, maka berangkatlah ia naik haji lagi pada tahun 1903 dan bermukim di Makkah selama dua tahun, dalam hal ini ia belajar : (1) ilmu Fiqh kepada Syekh Saleh Bafedal, Syekh Sa’id Yamani dan Syekh Sa’id Bagusyel; (2) ilmu Hadis kepada Mufti Syafi’i; (3) ilmu Falak kepada Kyai Asy’ari Bawean, dan (4) ilmu Qiraat kepada Syekh Ali Misri Makkah. Di samping itu juga kepada Syekh Ahmad Khattib Al Minangkabawi (Minangkabau), Kyai Nawawi (Banten), Kyai Mas Abdullah (Surabaya), KH. Fakih (Maskumambang). Berbagai masalah sosial keagamaan yang dialami di tanah air dijadikan topik diskusi dengan mereka. Sepulang dari Makkah, ia membangun pondok pesantren untuk menampung murid-muridnya yang berasal dari luar kota Yogyakarta dan kota-kota Jawa Tengah.

Di antara materi pengajian yang diistimewakan pemberiannya kepada para muridnya antara lain ilmu falak, tauhid dan tafsir dari Mesir. Dapat dipastikan bahwa bacaan beliau semenjak haji kedua dan seterusnya aalah karya tulis para pendukung ide pembaharuan dalam Islam. Di antaranya ialah : (1) Karya Muhammad Abduh: Risalah Tauhid, Tafsir Juz’ Amma, dan Al-Islam wan Nasraniah; (2) karya Ibnu Taimiyah: At-Tawasul wal Washilah; (3) karya Rasyid Ridla: Tafsir Al-Manar; (4) karya Farid Wajdi: Dairtul Ma’arif; (5) karya Rahmatullah al-Hindi: Izharul Haq; (6) karya ‘Ataillah: Matan Al-Hikmah; (7) karya Mazhab Hanbali: kitab-kitab Hadis; (8) majalah al-Urwatul Wustqa dan Al-Manar.

Pada tahun 1909 ia bertemu dengan Dr. Wahidin Sudirihusodo di Ketandan Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya, dan setelah mendengar ia menyatakan menjadi anggota bahkan diminta agar menjadi anggota yang merupakan organisasi modern pertama di Indonesia. Pada tahun 1910 ia pun menjadi anggota ke 770 perkumpulan Jami’at Khair Jakarta. Organisasi ini membina hubungan dengan pemimpin-pmimpin di negara-negara Islam yang telah maju, dan memperoleh majalah Islam dari sana, dari organisasi ini memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan AD, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapar berkala), dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern.

2. Mendirikan Organisasi Pasyarikatan Muhammadiyah.

Dari pengalaman bergabung dengan organisasi tersebut, ia menyadari bahwa perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan dengan sendirian. Maka dengan pengalamannya ia dirikan sekolah sendiri yang mengajarkan ilmu biasa dan agama Islam, sekolah ini diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911, dengan nama sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sedangkan nama oranisasi dipilih “Muhammadiyah” Untuk menyusun anggaran dasar Muhammadiyah mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, yang kesepakatan bulat pendirian Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 (Beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 22 Agustus 1914. Statuten Muhammadiyah) atau tanggal 8 Dzulhijjah 1330.

Pada tanggal 20 Desember 1912 diajukan surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda agar persyarikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Wilayah gerak Muhammadiyah itu penduduk pribumi di Jawa dan Madura. Maka Gubernur Jenderal mengirim surat permintaan pertimbangan kepada Direktur Van Justitie, Adviseur Voor Inlandsche Zaken, Residen Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.

Setelah menerima semua saran dan pertimbangan lalu meminta kepada Hoofdbstuur Muhammadiyah, agar mengubah kata-kata “Jawa dan Madura” mejadi Residentie Yogyakarta, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertuang dalam Gouvernement Besluit tanggal 22 Agustus 1914 Nomor 81 tujuannya telah tegas, cara-cara mencapainya telah terarah yang menghasilkan berbagai amal usaha nyata.

3. Pemikirannya

Ditinjau dari faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran KH. Ahamd Dahlan untuk mendirkian Persyrikatan Muhamamdiyah, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) faktor penyebab yaitu :

a. Faktor Subyektif.
Faktor subyektif sangat kuat, bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA Dahlan terhadap Al Quran baik dalam hal gemar membaca maupun menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Sikap seperti ini dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam QS. An Nias’ ayat 82 dan QS Muhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam setiap ayat, dan menatap QS Ali Imran ayat 104. Memahami seruan ayat ini di atas, KHA Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan organisais atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmat melaksanakan misi dakwah Islam amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.

b. Faktor Obyektif.
Ada beberapa sebab bersifat obyektif yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, yang dapat dikelompokkan dalam faktor internal yaitu penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia dan faktor eksternal yaitu penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.

b. Faktor obyektif yang bersifat internal :
- Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al Quran dan aas Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
- Lembaga pendidikan yang dimilki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku “Khalifah Allah di atas bumi”.

c. Faktor subyektif yang bersifat eksternal :
- Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
- Penetrasi bangsa-bangasa Eropa, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
- Pengaruh dari gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.

4. Ide-ide Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan dan Pengaruhnya

KHA. Dahlan adalah sosok yang cerdas dalam menangkap pesan al Quran dan al Hadis serta tanda-tanda zaman. Beliau berfikir rasional dan kritis, berwawasan luas dan futuristik. Menurutnya agama Islam berasal dari Tuhan dan absolut, tetapi perlu difahami melalui medium penafsiran manusia yang berlaku dalam setting lingkungan sosial yang kompleks. Oleh karenanya, hasil interprestasi manusia bersifat nisbi dan harus terus menerus dievaluasi dan direvisi.

KHA. Dahlan berpendapat bahwa dengan akal fikiran manusia dapat memperoleh kebenaran, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mampu memegang teguh kebenaran itu karena kuatir kehilangan kesenangan duniawi. Gagasannya tidak semata teoritis, tetapi sekaligus praktis. Islam adalah kebenaran doktrinal yang praksis, tidak teoritis, tidak abstrak. Implemenatasi ajaran Islam merupakan tujuan utama dari makna Islam yang sesungguhnya dan karena itu menjadi standar dalam mengukur komitmen seorang Muslim.

KHA. Dahlan menawarkan gagasan yang cerdas sebagai solusi memenahi sistem pendidikan yaitu sistem sekolah dan madrasah / pesantren, yang tujuannya adalah untuk menciptakan ulama intelek dan intelek yang ulama. Model pendidikan yang digagas KHA. Dahlan ini sekarang telah menjadi model pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Dalam menafsirkan hadis ia berpijak pada teks dan konteksnya bahkan maqoshidus syari’ah dari teks tersebut.

Terhadap kemiskinan dan ketepurukkan ekonomi yang menimpa kaum Muslimin, KHA. Dahlan menyerukan kepada umat Islam agar menjalankan amalan-amalan sosial seperti yang diperintahkan agama, dibangkitkan perasaan masyarakat yang sudah lemah dalam usaha tolong-menolong sehingga orang memiliki sikap sosial yang positif. Untuk itu beliau mempelopori mendirikan rumah yatim, rumah miskin dan rumah sakit. Zakat, qurban, shadaqah digerakkan dan digembirakan. Beliau ikut mempedayakan ekonomi pribumi yang termarginalkan oleh praktek ekonomi Belanda, bahkan beliau adalah enterpreneur yang handal. Untuk menggapai kejayaan uamt Islam harus memiliki basis ekonomi yang kuat.

Terhadap kerusakan aqidah, KHA. Dahlan mengajak kaum Muslimin untuk kembali kepada kemurinian tauhid beradasrkan al Quran dan Hadis. Hanya percaya kepada keesaan Allah SWT. semata dan hanya kepada-Nya manusia menyembah dan memohon pertolongan. Beliau berpendapat salah satu sebab kemunduran umat Islam karena terbelenggu mitos-mitos yang diciptakan oleh para penguasa atau pengaruh ajaran Hindu-Budha.

Untuk mengatasi kebekuan (statis) dalam fiqh, KHA. Dahlan mengajak uamt Islam mempelajari Islam dari sumber aslinya, al Quran dan al Hadis. Kemudian diajak pula mengadakan penyelidikan dan analisa terhadap ajaran al Quran dan al Hadis sehingga dengan demikian Islam dapat lepas dari ikatan yang sempit dan mencoba menilai aktiviatas keseharian yang bermacam-macam itu dengan nilai agama. Beliau termasuk orang yang tidak mengikatkan diri pada salah satu mazhab sehingga sering dituduh keluar dari mainstreim (arus besar) Islam. Banyak ide-ide beliau yang telah diwujudkan dalam amalan praktis sehari-hari berbeda dengan prakek populer masyarakat pada zamannya yang merujuk pendapat salah satu mazhab.

Langkah yang ditempuh KHA. Dahlan mengantisipasi kemajuan agama Kristen dan Katholik adalah dengan mempergiat dan menggembirakan tabligh, menata dan mempermodern oraginasinya. Beliau termasuk orang yang percaya diri dan menguasai seluk beluk ajaran Islam sehingga tidak ragu-ragu menantang dialog dengan para pastur dan pendeta.

- KH. Hasyim Asy’ari :
1. Latar Belakang Biografinya.

Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang. Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.

Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu. Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.

2. KH Hasyim Asy’ary Tokoh Pembaharu Pesantren

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari. Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

5 Mendirikan NU

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya. Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

2. Aspek Organisasi.
1. Bangkitnya Kembali Gerakan Pemikiran NU

Begitulah kesan yang muncul setelah mengikuti Muktamar Pemikiran Islam NU, yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Acara ini diperkarsai “maskot-maskot” kaum muda NU, seperti Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar-Abdalla dan Zuhairi Misrawi. Muktamar ini pun diselenggarakan di tengah badai kontroversi, kesalahpahaman dan ketakutan yang berlebihan terhadap pemikiran bebas. Diasumsikan, pemikiran anak muda itu akan merusak tradisi NU, meruntuhkan kharisma kiai, dan membahayakan doktrin Islam. Sudah saatnya Islam tidak dilihat sebatas ayat-ayat suci yang terbukukan dalam Mushaf Usmani dan berjilid-jilid kitab hadis, lalu melupakan kerja-kerja pembebasan yang dicapai Nabi Muhammad. Apalah arti teks tanpa terapan dan jawaban-jawaban atas problem-problem kemanusiaan yang sedang dan terus terjadi?! Lupakah kita, sampai saat ini, Alqur’an masih menyimpan ayat tentang perbudakan, tapi Nabi sendiri dan para sahabatnya telah membebaskan dan mengangkat Bilal pada posisi yang terhormat? Andai kekuasaan politik tidak keburu melembagakan penafsiran tertentu, mungkin pembagian waris 2:1 antara laki-laki dan perempuan akan sempurna menjadi 1:1.

Andai perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari dan kawan-kawan dalam mengangkat potensi ekonomi rakyat bawah dan memerangi penindasan kaum kapitalis lokal dan kolonialisme tidak terhenti oleh kecenderungan politik praktis para generasi sesudahnya, mungkin kalangan Nahdhiyin sudah merasakan manfaat besar lembaga yang mereka dukung dan banggakan selama ini. Diasumsikan, pemikiran anak muda itu akan merusak tradisi NU, meruntuhkan kharisma kiai, dan membahayakan doktrin Islam. Muktamar Pemikiran NU merupakan refleksi kritis atas perjalanan NU sebagai wadah kerakyatan dan kebangsaan.

Beberapa dekade terakhir ini, NU sebagai gerakan kultural seakan terpisah dan dipisahkan dari tradisi pikirnya. Padahal pemikiran adalah elan vital sebuah gerakan kultural, guna menghindar dari pragmatisme gerakan. Tradisi NU harus diinterpretasi terus menerus, bukan diterima secara taken for granted. Anak-anak muda NU yakin bahwa telah terjadi semacam disorientasi pada gerakan NU. Suatu kecenderungan dimunculkan secara dominan atas kecenderungan lainnya. Arus politik praktis mensubordinasi potensi-potensi NU lainnya. Pemikiran dipinggirkan, demi merayakan gairah Islam politik di tubuh NU. Oleh karena itu, ada dua catatan tentang makna muktamar ini, di tengah anomali yang dialami NU.

Masalah hubungan antara lembaga dengan pemikiran pada satu sisi dan parameter sebuah pemikiran pada sisi lainnya. Pemikiran progresif-liberal-emansipatoris yang sedang berkembang menuju tahapan-tahapan selanjutnya perlu diberi wadah tentatif. Ini diperlukan untuk menghindar dari restriksi wadah terhadap kebebasan pemikiran yang sangat dibutuhkan untuk membangun kembali tradisi pemikiran. NU harus mengakomodir perbedaan secara bijak dengan membunuh konservativisme, ekslusivisme, dan kultus yang masih diperlihatkan secara kuat oleh sebagian kiai. NU bukan lembaga tafsir yang mengabadikan satu tafsir atas tafsir lainnya. NU bukan pula suara yang tunggal, seragam dan satu warna dalam pemikiran. Pemikiran yang berkembang pesat di kalangan muda NU bukanlah “anak haram” yang harus dikucilkan, tapi merupakan “anak kandung” NU sendiri, sebagai hasil persentuhannnya yang mendalam dengan problem-problem sosial yang terus berubah. NU harus belajar dari kesalahan sejarah Islam maupun Barat, yang sering membunuh pemikiran dengan mengatasnamakan kolektivitas dan Tuhan. Hanya dengan memberi dukungan penuh, sikap inklusif dan tradisi berpikir yang toleran dapat berkembang dan menimbulkan efek sosial yang efektif dalam sejarah.

Pemikiran, seperti yang dikatakan Ali Harb dalam pengantar bukunya “As’ilatul Haqîqah wa Rahânâtul Fikr”, adalah eksistensi sesorang. Hal yang sama dikatakan Arkoun dalam bukungan “Rethinking Islam: A Common Questions”. Artinya, pembunuhan dan peminggiran pemikiran seseorang, sama artinya dengan tindak pembunuhan atas orang tersebut; suatu perbuatan yang sangat dilarang tegas oleh Islam. Pengafiran, penghalalan darah, dan pembunuhan terhadap pemikiran dan pemikirnya, selama ini merupakan catatan hitam sejarah umat Islam yang harus ditinggalkan. Oleh karena itu, pemikiran Islam yang tidak berangkat dari pemikiran Islam masa lampau bisa dipersoalkan, karena hal itu sama artinya dengan menegasikan mereka dalam sejarah.

Selain itu, sikap kritis adalah prasyarat mutlak setiap pemikiran guna menghindari negasi dan sikap a-historis. Ini penting sekali terutama ketika sebuah pemikiran bersentuhan dengan masa lampau, masa sekarang dan the other. Hilangnya kreativitas pemikiran kritis dalam sejarah Islam telah menjerumuskan umat Islam menjadi masyarakat yang utopis dan terdisorientasi dalam memaknai profanitas dan historisitasnya. Hancurnya budaya kritis telah melahirkan “pemikir-pemikir penguasa” atau ulamâus shultah --istilah Hassan Hanafi-yang membebek pada para tiran dalam menindas dan menekan masyarakat. Pemikiran yang dibiarkan berkembang tanpa kritik akan dengan mudah membangun struktur hegemoni atas pemikiran lainnya. Kaum post-strukturalis dengan gamblang menjelaskan bahwa pengetahuan sangat rentan merubah dirinya menjadi kekuasaan otoriter. Sebagai contoh, mengadopsi sejumlah teori ilmu sosial Barat guna menelaah ulang pemikiran Islam, bukanlah karena kecanggihan metodenya semata, melainkan karena kenyataan bahwa, ilmu sosial Barat lahir di tengah-tengah kaum pekerja, imigran dan kaum buruh yang menginginkan persamaan, demokrasi, dan pengakuan atas identitas mereka. Pengalihan teoritis ini lebih tepat diletakkan dalam garis dialogis yang didorong konsern yang sama dalam menjawab masalah kemanusiaan.
Maka dari itu, sudah saatnya sebuah pemikiran tidak dimaknai atau diukur sebatas isi, metode, wacana dan paradigma, atau hubungan resiprokal antara teks dengan konteks, ataupun seberapa bisa dia memberikan solusi instan. Parameternya, hendaknya dilihat pada konsern, tekanannya secara konsisten akan penyelesaian problem kemanusiaan. Pemikiran selalu lahir dari usaha untuk memahami problem degradasi kemanusiaan. Kondisi ini terlebih lagi pada pemikiran keagamaan, dimana agama tidak pernah ada tanpa alasan kemanusiaan. Tuhan selalu terusik oleh patologi kemanusiaan. Islam adalah agama yang lahir untuk menyelamatkan wajah kemanusiaan. Selama ini, di tengah masyarakat berkembang nalar yang menuntut agar pemikiran menjadi penyelesaian langsung atas suatu masalah. Pemikir dituntut menjadi penyelamat bagi masyarakat, padahal tugas pemikir adalah memberi alternatif, wawasan, dan perlindungan diskursif seluas-luasnya pada seseorang dalam melihat problem kehidupan yang ada. Itulah yang disebut aktivitas refleksif yang mendorong seseorang untuk melakukan kerja-kerja emansipatoris.

Hal yang berkaitan dengan pemikiran lainnya adalah kebiasaan sebagai kalangan melakukan pemetaan yang cenderung mengeneralisir masalah, lebih-lebih pada konstruksinya yang bersifat hirarkis-dikotomis, seperti teks dengan konteks, teks dengan rasionalitas dan lainnya. Keharusan berpegang pada teks, seringkali melupakan rasionalitas yang merupakan potensi dasar manusia. Menarik ketika Masdar Farid Mas’udi mengatakan bahwa, berpegang pada teks atau tidak hanyalah soal pilihan. Artinya, dengan atau tanpa teks, manusia dengan potensi dasarnya berupa rasionalitas dan kebebasan, mampu mengatasi diri dan dunianya jika mampu mengembangkan akalnya seluas-luasnya. Tanpa memercayai kemampuan manusia, sangat sulit mengharap perubahan-perubahan ke arah yang lebih beradab. Dengan mengembalikan fungsi rasio dan kebebasan akal, manusia akan kembali menjadi makhluk dengan kemampuan tak terduga. Hal kedua, perlu ditegaskan, Muktamar Pemikiran Islam NU sangat terkait dengan kenyataan bahwa NU merupakan sebuah gerbong gerakan kerakyatan dan kebangsaan. Konsern NU terhadap kedua masalah itu akan sangat ditentukan oleh tradisi pemikiran. Kemandekan gerakan NU selama ini nampaknya disebabkan “syahwat politik” yang berlebihan, sehingga NU menjadi organisasi politik, birokratis dan hirarkis yang memberi hak yang berlebihan pada sekelompok kalangan. Pragmatisme gerakan NU disebabkan lemahnya perkembangan pemikiran.

2 komentar:

  1. Coin Casino Canada Review 2021 » €300 Bonus + 200 FS
    Learn all about Coin 인카지노 Casino Canada and other bet365 Canadian casinos ✓ Get 100% up to €300 when you join ✓ Claim a Welcome 온카지노 Bonus here!

    BalasHapus
  2. Spades Card Game Rules - TrickTactoe.com
    Spades is 버튼 주소 a trick-taking card game devised in 스포츠토토 모바일 벳피스트 the United States in the 1930s. It is played with two partnerships. 메이저 놀이터 목록 The object is 스포츠토토 모바일 벳피스트 to 토토사이트 넷마블 be the first

    BalasHapus